Banyak kesulitan yang dapat timbul dalam rumah tangga, di antara suami isteri hanya gara-gara ibu atau ayah mertua. Perselisihan paham sering timbul dalam sebuah rumah tangga hanya karena kebetulan orang tua salah satu pihak serumah tinggal dengan rumah tangga itu. Perlakuan isteri yang tampaknya kurang memadai atau kurang seimbang terhadap mertuanya membuat sang suami tidak merasa adil.
Bagi sebuah rumah tangga yang oleh karena beberapa masalah, baik karena tekanan ekonomi, usia lanjut, dan lain sebagainya,membuat mereka harus tinggal serumah dengan orang tua atau mertua sering menghadapi kesulitan yang mungkin hanya bermula dari soal-soal kecil, dan kemudian meluas sampai pada konflik yang lebih serius. Dan tampaknya, meskipun suami dan isteri berusaha sungguh-sungguh membendung masalah serupa itu, namun ada-ada saja biang keladi yang menimbulkan masalah lain yang membuat timbulnya suasana kurang beres dalam kehidupan rumah tangga. Dan banyak suami isteri di dunia ini tidak sempat menikmati romantika hidup berumah tangga hanya gara-gara mertua itu. Tidak heran orang Eropa dan Amerika tidak senang hidup bersama orang tua dan mertua, lalu menitipkan mereka di dalam panti-panti sosial atau rumah-rumah jompo.
Memang terasa sekali timbulnya efek-efek yang kurang enak kalau tinggal serumah dengan mertua. Apakah keadaan itu suatu keadaan yang alami, ataukah karena dorongan modernisasi yang menyebabkan rasa sosial dan kasih jadi luntur, agaknya sukar dipahami sepenuhnya. Yang jelas dapat dilihat bahwa banyak rumah tangga kurang tenteram gara-gara mertua. Sengketa yang lebih sering timbul di antara suami isteri bermula dari mertua. Barangkali karena ketidakmampuan membiayai mereka, atau karena mertua itu sendiri tidak tahu diri, turut mengurusi rahasia, dan hak-hak anak dan menantu, rewel dan bersifat menguasai, menimbulkan kejengkelan anak atau menantu itu. Kurang pengertian di antara suami isteri karena perlakuan mertua itulah kelak menimbulkan konflik di antara suami isteri itu.
Namun demikian, bagaimanapun juga mertua adalah ayah atau ibu sendiri. Sudah tentu tidak ada orang lain tempatnya bergantung kecuali anak dan menantunya sendiri. Tidak ada orang lain yang mau mencukupi keperluannya sebelum masuk ke liang kubur selain dari anak dan menantunya. Demikian juga anak dan menantu, tidak dapat memilih orang lain menjadi ayah, ibu atau mertua selain dari pada ayah, ibu atau mertua sendiri. Bukankah juga mertua itu sudah berkorban mengasuh teri kita? Darahnya jugalah yang sudah menjadi darah kita atau darah isteri kita, sedang kita sudah berpaut sedarah daging dengan isteri atau suami kita. Kalau demikian adalah kewajiban anak atau menantu untuk mengasuh mertua, apalagi kalau mertua itu sudah lanjut usia, dan kurang beralasan kalau timbul konflik rumah tangga hanya gara-gara mertua itu.
Sudah menjadi hal yang umum kalau sang mertua kurang pertimbangan, rewel dan suka mengurusi anak atau menantunya. Barangkali pengaruh usia lanjut, pertimbangan akal yang berbeda sebab pengaruh perkembangan zaman yang sering membentuk jurang pemisah di antara angkatan dulu dan sekarang, membuat sang mertua itu rewel. Masalah serupa ini harus dipahami anak dan menantu. Dan disini pulalah suami isteri memerlukan toleransi tinggi, baik di antara mereka maupun terhadap mertua itu.
Sikap Mertua
Kalau masih dapat di pertahankan, sebaiknyalah orangtua atau mertua tinggal terpisah dari anak atau menantunya. Tinggal terpisah dari anak atau menantu akan menghindarkan keretakan yang lebih parah di antara keluarga anaknya, dan juga untuk menjauhkan diri agar jangan turut mencampuri persoalan keluarga yang mungkin timbul dalam rumah tangga anak itu.
Betapa banyak timbul persoalan rumah tangga hanya gara-gara sang orang tua atau mertua turut mengurusi rumah tangga anaknya. Untuk menghidarkan itulah orang tua atau mertua harus menyadari sampai dimana ia dapat mencampuri rumah tangga anaknya. Sebaiknya jangan menguasai anak atau menantu, harus begini, harus begitu, dan seterusnya. Sikap menguasai sangat tidak disukai anak atau menantu.
Si mertua harus sadar kalau anaknya sudah menikah, sudah membentuk rumah tangga sendiri, dan sudah berpaut dengan isteri atau suaminya, dan telah memisahkan diri dari tanggung jawab orang tua atau mertua. Ia harus pula menyadari bahwa dirinya yang sudah lanjut usia itu sudah tiba pada titik kulminasi hidup, dan tidak lama lagi akan meninggalkan dunia ini, sedangkan anaknya atau menantunya sedang memulai hidup baru yang harus di tempuhnya dengan pergumulan untuk mencapai sukses demi kelanjutan hidupnya, hidup isteri dan anak-anaknya. Oleh sebab itulah ia harus memberi tanggung jawab moril untuk mendorong anak atau menantu itu maju ke depan dalam karirnya. Disamping itu ia harus pula sadar bahwa ia sekarang sedang menggantungkan hidup kepada keluarga anaknya sebelum ia masuk ke liang kubur.
Bagi ibu-ibu mertua yang terpaksa hidup bersama anak atau menantu sebaiknya tetap bersikap kalem. Janganlah mereka rewel, suka mengeritik dan cemburu melihat hidup keluarga anaknya. Biarlah mereka dengan senang hati mengasuh cucu-cucunya sementara anak atau menantunya aktif bergumul mencari nafkah. Sebaiknyalah mereka berusaha menyesuaikan diri dengan hidup keluarga anaknya.
Sikap Anak atau Menantu Terhadap Mertua
Sudah jadi tanggung jawab dan kewajiban dalam hidup ini untuk mengurus ayah, ibu atau mertua. Dalam hal inilah sang anak atau menantu itu harus berikap baik kepada mereka. Anak atau menantu itu haruslah hormat kepada orang tua sebagaimana patutnya. Hormat kepada orang tua merupakan hukum paling besar dan patut di patuhi. Malah hukum itu sendiri berbunyi, “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu. Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati.”
Meskipun demikian tandasnya hukum yang menyangkut orang tua dan anak di atas, serta merta dengan konsekuensinya bila melanggarnya, namun sudah menjadi suatu hal yang tak dapat terelakkan dalam hidup ini kemungkinan timbulnya masalah dalam rumah tangga gara-gara mertua. Namun janganlah masalah mertua akan menyulitkan atau memecahkan ikatan perkawinan. Dalam hal ini perlu sekali pengertian yang dalam di antara suami dan isteri agar jangan terjerumus pada masalah-masalah yang lebih serius hanya gara-gara mertua itu. Suami isteri harus menyadari bahwa ayah atau mertua itu tidak lama lagi hidup di dunia ini karena usia mereka yang semakin menanjak memaksa mereka harus menyerah dalam hidup ini. Oleh sebab itu perlunya membuka dada lebar-lebar untuk memaafkan mereka.
Disamping itu, sang suami haruslah bersikap fair atau adil dalam tindakan dan perbuatannya setiap hari di rumah terhadap ayah mertuanya, dan isteri bersikap loyal atau setia terhadap suami dan orang tua suaminya. Dengan kata lain, suami dan isteri harus berbuat seimbang terhadap ayah dan mertua mereka.
Suami dan isteri haruslah tetap menyesuaikan diri satu sama lain, mengasihi satu sama lain, dan giat selalu melakukan kewajiban-kewajiban setiap hari. Dan melalui ikatan kasih itulah mendorong suami isteri itu membangun toleransi dalam rumah tangga, dan akhirnya menghimbau mereka memainkan peran anak atau menantu yang harus bertanggung jawab kepada mertua.
Bersikap santai dalam keluarga dan bebas membicarakan masalah secara obyektif, baik yang menyangkut orang tua atau mertua, akan membuka jalan pemecahan masalah yang rumit sekalipun. Di atas segalanya itu, kalau suami tetap mengasihi isterinya, demikian pula isteri mengasihi suaminya, maka masalah yang sukar ini akan dapat teratasi. “kasih itu sabar, kasih itu murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri dan tidak sombong.”